Sabtu, 05 Februari 2011

Persahabatan dan Cinta


Ah, tak terasa kini aku telah menjadi kakak kelas. Dulu ketika aku masih kelas satu, aku selalu bisa santai tanpa perlu merasa dipusingkan oleh sebuah kata, ‘belajar’, yang mungkin sering menghantui bocah-bocah malas, bodoh, dan selalu mendapat rangking terbawah di kelasnya.
Ayah dan ibuku boleh bangga karena aku adalah murid kelas ‘unggulan’, tempat di mana murid-murid dengan kualitas berpikir yang tinggi ditempatkan. Tapi jangan salah, di semua kelas pasti ada yang namanya murid bodoh, dan itulah aku. Ya, akulah gadis yang bernama Rossa, pemegang peringkat ketiga dari bawah di kelas ini. Hebat, kan?
Akan kuceritakan sebuah rahasia, yang membuatku betah di kelas ini. Sejak aku bersekolah di sini, aku menyukai seorang cowok, yang sekarang telah menjadi sahabatku. Namanya Rangga. Meski banyak yang bilang dia adalah cowok yang aneh, karena ia suka usil, tapi aku suka. Aku tak pernah melihat Rangga sedih, yang ada hanya kegembiraan, tawa dan canda yang selalu menghias raut wajahnya.
Sial, aku tak kebagian tempat duduk! Itu berarti aku harus berdiri di bus selama perjalanan  pulang ini. Huh! Tapi, hei! Ada cewek yang pakai seragam sama denganku! Itu berarti, ada teman untuk pulang sekolah! Aku mencoba mendekati cewek itu.
“Ah, kau pasti anak baru, ya? Aku belum pernah melihatmu. Salam kenal, namaku Rossa,” sapaku ramah padanya. Cewek itu menoleh padaku. Sungguh bukan main, ia manis sekali! Rambutnya yang halus, hitam, dan panjang terurai di samping pundaknya.
“Oh, salam kenal juga! Kau pasti kakak kelasku, ya? Senang berkenalan denganmu, namaku Kyta,” jawab cewek itu. Oh, begitu ya, ternyata dia anak kelas satu.
Begitulah, setelah perkenalan singkat itu, kami selalu pulang bersama. Kami bahkan telah menjadi sahabat. Apapun kami bicarakan di dalam bis ketika pulang sekolah. Sampai-sampai aku menanyakan hal bodoh yang biasa ditanyakan seorang anak terhadap adik kelasnya.
“Kalau boleh tahu, apa Kyta suka seseorang di sekolah? Mungkin teman atau kakak kelas?”
“Hah? Eh, anu… bisa dibilang, Kyta emang lagi jatuh cinta saat ini,” tak kusangka, ternyata dia ini tipe cewek yang suka nanggapin pertanyaan gombal semacam tadi.
“Siapa?”
“Ah, dia… anak kelas XI-B.”
“Kalau gitu ia sekelas denganku dong! Kau tahu namanya?”
“Aku belum tahu, tapi yang jelas dia itu murah senyum dan…”
“Murah senyum!?” apa!? Tidak mungkin! Tidak mungkin kalau cowok yang ia sukai itu Rangga.
“Ehm, maaf? Apa bisa kulanjutkan?”
“Oh tentu. Silahkan.” Tenang Rossa, cool down. Jangan memperlihatkan pada Kyta kalau kau juga menyukai Rangga.
“Dia itu cowok yang usil, dan terlihat lebih aneh jika dibandingkan dengan cowok lainnya.”
Ternyata memang benar. Tidak salah lagi, Kyta pasti menyukai Rangga. Kenapa? Kenapa ini harus terjadi?
“Aku tahu, dia Rangga, kan? Apa yang kau sukai darinya?”
“Dia nampak manis saat tertawa!”
“Oh,” jawabku singkat.

***

Kalau dilihat-lihat, Kyta itu emang manis dan cantik. Semua cowok pasti mau jika ditawari untuk jadi kekasihnya. Apalagi Rangga, dia kan menyukai tipe-tipe cewek yang seperti itu. Ini semakin membuat diriku putus asa untuk mendapatkannya.
 Tuk! Aduh!! Siapa sih!? Tahu-tahu ada penghapus karet mendarat tepat di dahiku. Pasti bocah iseng.
“Ngelamun siapa sih? Dari tadi gue dicuekin! Nih, hasil ulangan fisika lo!” seru Rangga membuyarkan lamunanku.
“Eh, sorry, sorry!! Gue nggak tau!” ucapku seraya membuka lipatan lembar jawaban ulangan fisikaku. Fyuh! Dapat tujuh puluh enam, masih diatas KKM. Untunglah.
“Dapat berapa lo?”
“Tujuh puluh enam.”
“Masih bagus gue dong! Gue dapat sembilan!” yah, memang beginilah Rangga, ia sedikit sombong, tapi ia tetap baik kok!
“Iya, lo emang pinter.”
“Gue gitu loh!!”
Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
Sore ini Kyta mengajakku pergi ke sebuah mall. Kakiku sampai pegal gara-gara keluar masuk butik, mengantar Kyta yang sedari tadi belum dapat barang incarannya. Tubuhnya memang kecil, jadi agak susah untuk mencari ukuran baju yang pas.
“Masih lama? Istirahat dulu yuk!” ajakku yang udah teler.
“Ah, iya deh, kasian Kak Ross, kita ke Starbucks aja yah?”
“Terserah.”
Kami pun segera menuju ke gerai Starbucks. Aku yang lelah ini langsung menghempaskan badan ke sebuah sofa empuk nan nyaman. Ah, leganya!
“Mau pesan apa Kak?” Tanya Kyta.
Cappucino aja deh,” jawabku.
“Tunngu sebentar yah!” ucap Kyta yang kemudian melangkah menuju counter, memesan minuman untuk kami berdua.
“Sendirian lo?” ucap seorang cowok yang suaranya sudah taka sing bagiku.
“Rangga!? Lo ngapain di sini?” gawat, kalau Kyta tau Rangga di sini.
“Biasa aja kali! Gue habis belanja komik, eh taunya perut gue minta diisi, ya udah gue mampir aja ke sini. Lo sendiri di sini ngapain?”
“Eh, gue nganterin temen gue belanja.”
“Gue boleh gabung nggak?”
Ya ampun, kenapa dia malah menawarkan diri begitu? Kukira setelah ketemuan sebentar dia bakal langsung pergi.
“Pesanan datang! Siapa tadi yang pesan cappuccino?” gawat! Itu dia Kyta udah balik!
“Oh.. jadi dia temen yang ngajak lo belanja? Tapi kok rasanya gue pernah liat ya? Lo anak kelas satu kan?”
Tidaaakk!!! Dasar Rangga! Main nyolot aja deh! Pikirku.
“Rangga, ini Kyta, temen sekaligus adik kelas gue. Kyt, ini Rangga, teman sekelas Kakak,” aku memperkenalkan mereka berdua.
Entah kenapa tiba-tiba Kyta mencengkeram lenganku dan menyeretku menuju toilet. Jangan-jangan dia marah, atau…
“Nggak kusangka ternyata Kyta bakal ngeliat Kak Rangga sedeket ini!!! Ya ampun!!! Kyta seneng deh rasanya!” seru Kyta girang.
“Yah, lalu, apa kamu bakal menyatakan perasaanmu padanya?”
“Ide bagus! Tapi Kyta harus ngomong apa?”
Tuh kan! Dasar Rossa bego! Sekarang dia bakal ngerebut pujaan hati lo tau!!
“Ah…”
“Demi Tuhan! Aku memang harus ngomong sekarang, Kak Rossa mau kan? Nganter Kyta?”
“Tapi…”
“Itu aku anggap sebagai jawaban, ya!” ia menyeretku kembali menuju meja di mana kami bertemu tadi. Di sana, berdiri seorang cowok yang tampak kebingungan, Rangga.
“Ah, maaf ya Kak, tadi itu ada urusan penting. Oh ya, salam kenal, aku Kyta Zavyalova, kelas X-C,” ucap Kyta senyum-senyum.
“Hem… Rangga,” jawabnya singkat.
“Sebenarnya… sejak melihat Kak Rangga, Kyta jadi menyimpan rasa, dan sudah Kyta putuskan, kalau Kyta ingin menyampaikannya pada Kak Rangga. Bahwa Kyta suka Kak Rangga!”
Hening. Sebelum sempat kudengar apa jawaban Rangga, aku memilih untuk meninggalkan tempat ini. Aku tak sanggup lagi, melihat mereka berdua seperti ini. Tapi… grep! Tangan Rangga memegang tanganku kuat-kuat, menghentikan langkah. 
Aku berbalik dan mengernyitkan dahiku pada Rangga, seolah ini adalah isyarat untuk menyruh Rangga melepaskan tanganku. Akan tetapi Rangga malah membalasnya dengan sebuah senyuman yang manis.
"Maaf. Lo emang cantik, tapi gue nolak. Gue udah punya pilihan sendiri, dan cewek pilihan gue ada di sini, di samping gue." Apa!? Rangga, lo ngomong apaan sih? Batinku dalam hati.
"Apaan sih? Kyt, jangan salah sangka dulu, ya! Please! Si Rangga orangnya emang suka bercanda."
"Gue nggak bercanda, gue serius! Sebenarnya gue suka sama lo sejak kita satu kelas."
"Tapi..."
"Kalau memang itu pilihan Kak Rangga, nggak apa-apa kok, kalian jadian. Kyta nggak marah atau cemburu atau apa. Jadi, apa jawaban Kak Rossa?" sela Kyta sambil tersenyum.
"Tapi Kyta, aku..." belum selesai aku bicara, tapi Kyta menarik tanganku dan Rangga, dan menyatukannya.
"Apa jawaban lo Ross?" sambung Rangga.
Aku memang suka lo Rang! Baiklah, sudah kuputuskan, aku akan menerimamu. Aku pun mengangguk.
Begitulah. Sejak saat itu, aku dan Rangga jadian, Kyta tetap menjadi sahabatku, meskipun kami sama-sama menyukai Rangga. Mungkin inilah yang disebut dengan persahabatan dan cinta.

TAMAT


    

Jumat, 31 Desember 2010

Paduan Suara (cerpen)


Suatu pagi, seekor katak gunung yang tinggal di Jepang sedang melamun di tepi kolam. Nama katak itu adalah Fuji. Tiba – tiba seekor katak sawah yang bernama Kimi melompat ke kolam. JEBYUR! Alangkah kagetnya Fuji mendengar suara itu.
“Hai, katak gunung, siapa namamu?” sapa Kimi.
“Hai juga. Aku Fuji” balas Fuji.
“Aku Kimi. Maukah kau bernyanyi untukku? Bukankah katak gunung pandai menyanyi? Kau pasti berasal dari Fujiyama (gunung Fuji) bukan?”.
Tetapi saat Fuji mendengar permintaan tersebut, ia malah melompat ke atas batu dan menyebrangi sungai. Apa yang terjadi? Apakah permintaanku terlalu berat untuknya? Pikir Kimi. Kemudian, seekor katak sawah besar memanggilnya. Rupanya itu ayah Fuji, ia telah melihat semuanya di balik rerumputan.
“Psst. Kemarilah, katak sawah”. Lalu ayah Fuji menceritakan semuanya kepada Kimi.
“Sebenarnya Fuji adalah anakku. Namun ibunya adalah katak gunung. Seperti yang kau ketahui, katak gunung sangat pandai menyanyi. Tetapi karena aku katak sawah, jadi ia tidak pandai menyanyi. Ia sangat malu dengan teman – temannya. Aku sangat menyesal, aku bukanlah ayah yang tepat untuknya”.
Karena merasa iba, Kimi mencoba untuk membantu ayah Fuji. Ia pun mendapat ide. “Kalau begitu, aku akan mencari solusi bagi katak yang tidak pandai bernyanyi”.
“Oh, terima kasih banyak. Kau baik sekali,” ucap ayah Fuji.
Lalu berangkatlah Kimi. Ia menyebrangi sungai untuk mencari Fuji.
Sampai pada sebuah batu besar, Kimi melihat Fuji sedang duduk di atasnya. Ia melihat Fuji sedang menangis, rupanya ia sangat sedih. Lalu Kimi menghampirinya.
“Hai Fuji, mengapa kau menangis? Aku tahu kalau kau tidak bisa bernyanyi. Tetapi bukan begini caranya, pasti ada cara yang lebih baik,” hibur Kimi.
“Ya benar, aku tidak pandai bernyanyi. Seharusnya kalau aku katak gunung aku dapat bernyanyi. Tapi, mengapa kau tidak sedih, kalau kau katak sawah pasti kau juga tak pandai bernyanyi bukan?”
“Aku tidak tahu. Mungkin karena aku mengikuti paduan suara”.
“Paduan suara? Apa itu?”
“Apa ya? Yang aku tahu, beberapa katak atau kodok yang bernyanyi bersama. Biasanya paduan suara diikuti sesama katak sawah atau katak gunung dengan katak sawah. Dengan bernyanyi bersama, suara yang halus, keras, berat, serak dan lantang akan menjadi enak didengar. Nah, dengan cara ini, kau dapat merasa bahwa suaramu itu bagus bahkan kelompokmu bisa mengikuti lomba paduan suara” kata Kimi.
Benar juga, mengapa aku tidak tahu dari dulu ya? Aku ini hanya katak bodoh yang mudah putus asa! Pikir Fuji.
“Baiklah kalau begitu, aku ingin ikut paduan suara”.
“Kalau begitu ayo ikut aku!” tukas Kimi.
Sejak saat itu Fuji dan Kimi berlatih paduan suara dengan teman – temannya. Sampai pada suatu hari kelompok mereka diikutkan lomba. Ayah dan ibu Fuji sangat bangga dan senang sekali.


Sepasang Merpati (cerpen)


Di sebuah hutan, hidup sepasang burung merpati yang bernama Eve dan Adam. Mereka selalu setia. Saling mengasihi dan menyayangi. Mereka tak dapat terpisahkan dan akan selalu bersama.
Suatu hari, merpati-merpati itu pergi mencari makan. Adam tak akan meninggalkan Eve di belakangnya. Begitu juga Eve. Mereka menyusuri seluruh hutan bersama. Dari goa-goa, tebing yang curam, sungai yang deras, hingga akhirnya tiba di tepi hutan yang berbatasan dengan pemukiman manusia.
“Sayang, ayo kita ke sana. Di sana banyak sekali makanan,” kata Eve kepada Adam.
“Jangan, di sana banyak sekali manusia-manusia yang kejam,” balas Adam.
“Akan tetapi, kita bisa makan enak di sana.”
“Sayang, apabila kita ditembak oleh mereka, kita pun akan dijadikan santapan.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi sendiri.” Kemudian Eve pergi meninggalkan Adam. Adam terdiam. Ini pertama kalinya mereka berpisah. Sebenarnya Adam ingin sekali menemani Eve ke sana. Tapi bila memang benar nantinya mereka tertembak, akan sia-sia saja mereka.
 Eve tiba di tengah-tengah pemukiman yang padat. Di sana memang banyak makanan. Gandum-gandum yang baru saja dipanen dijemur di atas atap rumah.
Eve hinggap di atas atap, lalu ia makan sampai ia merasa kenyang. Eve sedih tak dapat menikmati makanan ini bersama kekasihnya. 
Tak lama kemudian, sang pemilik rumah itu melihat Eve memakani gandum-gandumnya. Orang itu marah dan menangkap merpati malang itu. Ia lalu menjualnya ke kota. Kini Eve berada dalam kandang. Ia khawatir tak dapat bersama lagi dengan Adam.
Petang harinya, Eve belum kembali kepada Adam. Adam menunggu lama sekali. Akhirnya ia pun mencari Eve ke sana.
Lama Adam mencari, bahkan ia sudah menanyakan kepada seluruh merpati yang tinggal di sana. Akan tetapi mereka tak melihatnya. Adam menangis sedih. Ia tak dapat bertemu dengan kekasihnya. Ia juga menyesal karena tak ikut menemani Eve.
Di dalam kandang, Eve pun menangis melihat dirinya tak dapat bertemu lagi dengan Adam. Ia menyesal karna tadi ia tak mengikuti ucapan Adam.
Kini mereka berdua telah terpisah oleh ruang dan waktu. Keduanya tak dapat bertemu kembali.